Rabu, 02 Februari 2011
Kemarau Kemarahan Memuncak di Mesir
Jakarta - Sejumlah pria bersenjata tajam kini menjadi pemandangan umum di tiap-tiap perkampungan di beberapa daerah di Mesir, terutama Kairo, ibukota Mesir. Mereka berjaga-jaga dari aksi pengrusakan dan penjarahan.
Pasca demonstrasi besar-besaran di Mesir memang membuat kondisi di negeri piramid tersebut mencekam. Sejumlah jalan di Kairo, Iskandaria, dan Suez dipenuhi ribuan pengunjuk rasa.
Sejumlah gedung milik pemerintah dan beberapa pusat perbelanjaan tidak luput dari amuk massa dan penjarahan. Bahkan empat penjara di negeri tersebut berhasil dijebol oleh ribuan orang bersenjata. Akibatnya, ribuan narapidana berhasil melenggang dari penjara.
Kaburnya ribuan napi dari penjara itulah yang dikhawatirkan warga. Sehingga banyak warga yang berjaga-jaga dengan golok dan pedang lantaran khawatir para napi lari ke wilayah mereka.
"Warga takut ada penjarahan. Tapi terhadap orang asing mereka tetap ramah. Jadi kami tidak merasa khawatir," jelas Ardika, mahasiswa asal Indonesia yang tinggal di Nasser City, Kairo, Mesir, kepada detikcom.
Mahasiswa S2 jurusan ilmu hadis di Universitas Al-Azhar, Kairo, ini menjelaskan, saat ini kondisi para mahasiswa yang tinggal di Nasser City baik-baik saja. Sekalipun sempat mengalami isolasi dengan dunia luar selama beberapa hari.
Ardika mengatakan, WNI di Mesir baru bisa berkomunikasi lewat telepon sejak 2 hari lalu. Karena sambungannya diputus oleh otoritas setempat sejak pekan lalu. Sementara internet sampai saat ini belum tersambung. Begitu juga dengan siaran televisi luar negeri seperti CNN dan Al Jazeera belum bisa disaksikan masyarakat Mesir. Hanya siaran TV lokal yang bisa disaksikan warga Mesir.
Soal aksi demo besar-besaran dan kerusuhan yang terjadi di Mesir, salah satunya disebabkan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan otoriter yang dijalankan Presiden Hosni Mubarak. "Kondisi pemerintahan Hosni Mubarok mirip-mirip dengan pemerintah Soeharto di Indonesia. Bedanya kalau di Mesir posisi militer netral tidak berpolitik seperti zaman Pak Harto dulu," ujarnya.
Selain otoriter, kesenjangan yang sangat dalam antara masyarakat miskin dan kaya juga jadi penyebab. Kesenjangan tersebut bisa terlihat dengan buruknya angkutan umum di Mesir, seperti taksi dan angkutan umum lainnya yang sudah reot. Sementara orang-orang kaya di sana banyak menggunakan mobil mewah. "Itu keluhan yang sering saya dengar dari sejumlah warga di sini," ungkapnya.
Nah, kondisi inilah yang jadi salah satu pemicu kekesalan warga Mesir terhadap pemerintah. Terinspirasi Revolusi Melati yang sukses di Tunisia, aktivis Mesir menyerukan perlawan atas Mubarak. Pada 17 Januari, meniru Mohamed Bou'aziz, seorang anak muda Tunisia yang membakar dirinya sendiri, pada 17 Januari, seorang pria membakar diri di luar gedung parlemen Mesir.
Pada 24 Januari, Mohamed ElBaradei, peraih Nobel Perdamaian dari Mesir, menyerukan bahwa Mesir harus bisa melakukan apa yang telah dilakukan rakyat di Tunisia. Maka pada 25 Januri, rakyat mulai turun ke jalan. Mereka menyebut hari itu sebagai "The Day of Anger', hari kemarahan. Kemudian kemarahan rakyat Mesir tidak terbendung. Bila Mohamed Heikal menulis buku 'Kemarau Kemarahan', saat ini kemarau kemarahan di Mesir tengah panas-panasnya. Hari-hari berganti dengan demo dan bentrokan warga dengan polisi.
Pada 26 Januari, di Kairo seorang pengunjuk rasa dan seorang polisi tewas dalam bentrokan. Di Suez, 55 demonstran dan 15 polisi cedera. 27 Januari, ratusan pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di Suez dan Ismailiya, seorang pemuda ditembak mati oleh polisi di kota Sinai Syekh Zuwayed.
28 Januari, ElBaradei bergabung dalam demo ribuan orang setelah salat Jumat di Kairo. Ia mengatakan siap untuk memimpin transisi. Sementara Mubarak makin keras, ia memberlakukan jam malam dan meminta tentara untuk membantu polisi. Keesokan harinya, 29 Januari, jam malam dicueki, puluhan ribu demonstran tetap turun ke jalan. Bentrokan kembali terjadi. Data korban tewas dinyatakan 51 orang. El Baradei memuntut Mubarak segera angkat kaki dari Mesir. Yusuf al-Qaradawi, ulama berpengaruh, mendesak Mubarak untuk mundur demi kebaikan negara.
Menghadapi situasi yang kian berbahaya, Mubarak lantas berusaha menarik simpati dengan melantik Kepala Intelijen Mesir Omar Suleiman sebagai wakil presiden. Pengangkatan Wapres ini merupakan pertama kalinya dalam kepresidenan Mubarak selama 30 tahun.
30 Januari, ribuan narapidana keluar dari penjara dan sedikitnya 125 orang dilaporkan tewas. 1 Februari, sejuta rakyat Mesir berdemo menuntut Mubarak mundur. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Navi Pillay menyatakan sedikitnya 300 orang tewas dalam aksi anti Mubarak tersebut.Mubarak menyatakan tidak mau mengundurkan diri. Dia hanya tidak mencalonkan diri lagi pada Pemilu yang akan digelar pada September 2011.
2 Februari, massa terus berdemo dan tidak menggubris tawaran Mubarak. Tuntutan mereka hanya satu, Mubarak harus segera mundur dari jabatannya, paling lambatl 4 Februari. Hari itu disebut-sebut akan menjadi "Jumat keberangkatan" bagi Mubarak. Para demonstran berencana akan berkumpul di istana kepresidenan pada Jumat, 4 Februari sore waktu setempat untuk memaksa Mubarak mundur.
Inilah hari-hari terakhir dari rezim Mubarak. Ia hanya tinggal menghitung hari saja untuk jatuh. Meski sekarang ia masih menolak mundur, sejatinya itu hanyalah taktik untuk mengulur waktu bagi Mubarak untuk menyelamatkan kepentingannya. Pada dasarnya Mubarak sudah tidak memiliki kekuatan lagi. Militer yang menjadi sandarannya kini telah berpihak pada rakyat dengan tidak melakukan kekerasan dalam aksi sejuta umat itu.
"Mubarak sudah tidak lagi memiliki kekuatan. Sekarang permasalahannya adalah siapa yang akan menggantikan Mubarak. Ini yang masih menjadi negosiasi kalangan elit di sana," kata pengamat Timur Tengah Universitas Indonesia Hamdan Basyar.
Namun taktik tarik ulur Mubarak bisa menjadi bumerang. Mubarak bisa bernasib tragis seperti Anwar Sadat, presiden sebelumnya yang ditembak mati saat menghadiri parade militer. "Kalau masih ngeyel keterlaluan juga. Dia bisa kayak Anwar Sadat ditembak mati," kata Hamdan. (ddg/iy)
-detiknews-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar