About

Selasa, 20 Oktober 2009

BUYA HAMKA


HAMKA adalah singkatan dari nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 M (1326 H) di Maninjau Sumatera Barat. Ibunya bernama Shafiyah dan ayahnya bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah terkenal dengan sebutan Haji Rasul, seorang ulama yang cukup terkenal dan terkemuka, sebagai tokoh pembaharu di Minangkabau.

Hamka, semasa kecil dekat dengan nenek dan kakeknya ketimbang dengan kedua orang tuanya. Sebab ayahnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, adalah ulama modernis yang banyak diperlukan masyarakat, sehingga hidupnya harus keluar dan meninggalkan desa kelahiran Hamka. Terhadap nenek dan kakeknya Hamka merasa lebih sayang ketimbang dengan ibu dan ayahnya, karena ayahnya dirasakan sebagai orang yang kurang mau mengerti jiwa dan kebiasaan anak-anak. Ayahnya dinilai terlampau kaku dan bahkan bertentangan dengan kecenderungan masa kanak-kanak yang cenderung ingin bebas mengekspresikan diri, atau nakal .

Hamka menerima pendidikan awalnya dari ayahnya sendiri dan dari beberapa sekolah formal, pada pagi hari ia pergi ke sekolah umum (public school), kemudian pada sore hari dilanjutkan dengan belajar di sekolah diniyah (the diniyah school), sekolah agama pertama yang menggunakan sistem pendidikan modern. Selain memperoleh pendidikan formal dan pendidikan dasar dilingkungan keluarga, Hamka dikenal sebagai seorang yang otodidak dalam bidang agama. Hamka mempelajari agama Islam, tidak hanya yang ditulis oleh sarjana-sarjana ”Muslim Klasik”, tetapi juga oleh “Muslim Modernis” seperti Muhammad Abduh dan Jamal Al Din Al-Afgani.

Berkat kemampuan membacanya yang luas menyebabkan Hamka mempunyai banyak akses keilmuan, Hamka mempunyai kelebihan dalam mengungkapkan pikirannya dengan ungkapan-ungkapan yang modern dan kontemporer. Oleh karena itu, Hamka berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar tanpa canggung dan tanpa hambatan. Pikiran-pikirannya diterima kalangan luas, khususnya kalangan umat Islam Indonesia yang sering diidentifikasikan sebagai “kaum modernis” atau kaum “Pembaharu”.

Bukti bahwa Hamka telah menguasai tentang Islam terlihat dari gelar Doctor (honoris causa) dan Professor yang diberikan kepadanya. Pertama, Majelis tinggi Al-Azhar pada tanggal 28 Februari 1959/20 Sya’ban 1378, memberikan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahasah Al-‘Alimiyah”, surat penghargaan itu sendiri di tanda tangani oleh Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Jami Al-Azhar. Kedua, Universitas Kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974 menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa ( Doctor persuratan dalam bahasa Malaysia).

Pada akhir tahun 1924 (dalam usia 16 tahun) Hamka berangkat ke tanah Jawa, dan langsung ke Yogyakarta. Dikota ini, ia berkenalan dan belajar pergerakan Islam pada H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Fakhrudin. Dari beliaulah dia mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam Syarikat Islam “Hindia Timur” dan gerakan Muhammadiyah.

Hal yang penting, yang dapat di petik selama kunjungan Hamka ke Jawa adalah kesadarannya melihat perbedaan antara Islam di Jawa dan di daerahnya (Minangkabau). Pada waktu itu ditandai dengan konflik antara Kaum Tua (tradisional muslim) dan Kaum Muda (modernis muslim).

Bulan Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah. Namun tidak lama kemudian pada bulan Juli 1927 dia pulang ke Medan. Sejak itu dia aktif dalam kegiatan Muhammadiyah ke-18 di Solo. Sejak itu pula karir dalam organisasi itu menanjak dari ketua bagian taman pustaka, ketua tabligh, sampai menjadi ketua cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Pada 5 April 1929 ia menikah dengan Siti Raham pada usia 21 tahun dan ketika itu isterinya berusia 15 tahun. Kemudian setelah itu ia aktif sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang.

Karir Hamka di Muhammadiyah dari tahun ke tahun memperlihatkan perkembangan yang positif. Pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Muhammadiyah Sumatera Tengah. Dan tahun 1946 berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang dan Hamka terpilih sebagai ketuanya. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah ini membuat ia mempunyai banyak kesempatan berkunjung ke cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam, sehingga ia dikenal dan bertambah terkenal. Pada kongres ke 32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah.

Hamka, selain aktif diorganisasi Muhammadiyah ia beserta keluarganya diangkat sebagai pegawai kementrian. Dia diserahi tugas mengajar dibeberapa Perguruan Tinggi Islam Jakarta, Universitas Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar dan Universitas Islam Sumatera Utara. Tahun 1952 Hamka mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri Amerika untuk mengadakan kunjungan kenegeri itu selama 6 bulan. Dari lawatan itu ia mengarang buku “4 Bulan di Amerika”
Pada Pemilihan Umum yang pertama (1955), Hamka terpilih menjadi Anggota DPR mewakili Masyumi daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun dia tidak bersedia untuk duduk di DPR, apabila hanya sebagai pengumpul suara terbanyak saja. Tetapi karena permintaan pimpinan Pusat Muhammadiyah, akhirnya Hamka menerimanya.

Perkembangan politik di Indonesia makin buruk. Hamka sebagai masyarakat dan ulama tak luput dari berbagai hasutan. Dia dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Soekarno dan atas tuduhan tersebut Hamka ditangkap dan di jebloskan kedalam penjara. Pengalaman dalam penjara ini rupanya sangat berkesan dan memberikan hikmah tersendiri bagi Hamka. Kehidupan Hamka dalam penjara merupakan periode yang berkah baginya, karena selama dalam penjara Hamka mampu menyelesaikan, dalam menafsirkan Al-Qur’an 30 Juz dan diberi nama Tafsir Al-Azhar. Sebagaimana Hamka sendiri dalam Tafsir al Azhar membeberkan pengalamannya dipenjara sebagai berikut:

“…Tetapi disamping hati mereka yang telah puas, Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya didalam QS. At-Taghabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia beriman teguh kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah kedalam hatinya. Allah rupanya menghendaki agar terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al-Qur’an al-Karim. Karena kalau saya masih berada diluar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai mati. Masa dua tahun telah saya pergunakan sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayah Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum sebelum saya pindah kedalam tahanan rumah, penafsiran Al-Qur’an 30 Juz telah selesai. Dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.”(Kumayi, 2004:28).

Kesan diatas dapat kita rasakan ketika dia menafsirkan QS.Al-Insirah:5-6

“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”(Depag RI,1993:1073)
Kesulitan selalu beserta kemudahan. Yang sulit saja tidak ada. Yang mudah sajapun tidak ada. Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah, itulah perjuangan hidup. Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, pikiran mencari jalan keluar…ternyata kesulitan adalah kejayaan dan keberuntungan yang tiada taranya (Tafsir Al-Azhar Juz XXX).

Selama penahanan ini, selain menyelesaikan tafsirnya, Hamka juga mendapatkan kesempatan dimalam untuk shalat tahajud, mengkhatamkan Al-Quran lebih dari 100 kali. Ia juga membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat, agama, hadis-hadis Rasulullah, tarikh (sejarah) pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama, jalan akhirat ia pelajari dan resapkan. Dengan demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu pengetahuan dan meresapkan ajaran agama kedalam jiwa.

Selain dari tahanan, tahun 1975 Hamka diminta menjadi ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), dan akhirnya ia pun diangkat menjadi ketua MUI. Namun pada bulan Mei 1981 Hamka meletakan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI akibat fatwanya yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah. Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai ketua umum MUI, ia masuk rumah sakit karena serangan jantung yang cukup kuat selama lebih kurang satu minggu.

Tepatnya pada tanggal 17 Juli 1981 Hamka berbaring di rumah sakit Pertamina Pusat Jakarta yang ditangani oleh para dokter. Mereka sudah berusaha keras untuk menyelamatkan ulama besar itu, tetapi tuhan berkehendak lain. Akhirnya dia wafat pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Kebayoran Lama Jakarta dengan diantar ribuan umat Islam.(AL-GHIFARI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar