Krisis pendidikan yang dihadapi umat manusia, termasuk di Indonesia, sudah sampai pada taraf yang begitu mengkhawatirkan. Kita lihat saja kasus di Indonesia. Selain soal anggaran yang selalu saja setiap waktu menjadi perbincangan hangat, sesungguhnya krisis terjadi pada tubuh pendidikannya itu sendiri. Dari sisi pembiayaan pendidikan, pendidikan di Indonesia sedang sampai pada titik yang begitu mengkhwatirkan. UU BHP yang beberapa waktu lalu disahkan diprediksi akan semakin melegitimasi pendidikan Indonesia yang sudah semakin berhaluan neoliberal dan diselenggarakan sebagai pasar.
Gembar-gembor mengenai pendidikan murah dan pendidikan gratis di televisi kelihatannya memang hanya sekadar iklan narsis pemerintah. Padahal, di lapangan atas nama apapun tetap saja banyak sekolah yang belomba-lomba memeras muridnya. Apalagi kalau sekolah sudah berlabel: terpadu, unggulan, standar nasional, standar internasional dan semisalnya. Ada-ada saja alasan sekolah untuk menarik uang dari kantong orang tua murid. Akhirnya, sekolah tidak lebih hanya berperan sebagai lembaga bimbingan belajar yang hubungannya dengan stake holder (murid dan orang tua) dilandasakan pada hubungan transaksional.
Kalau sekolah sudah memposisikan diri sebagai “perusahan” yang tengah bertransaksi dengan konsumennya (orang tua dan siswa), maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada lagi komitmen moral dalam proses pendidikan. Yang ada orang tua sudah meniatkan hal-hal yang materialistis saat memasukkan anaknya ke sekolah, guru pun sudah tidak memikirkan hal lain selain uang. Akibatnya bisa dibayangkan: sekolah berubah menjadi pasar.
Efek berikutnya bisa segera ditebak. Selain sekolah menjadi semakin mahal dari sisi mutu lulusan sangat mengkhawatirkan. Memang banyak sekolah yang kelihatannya bisa melahirkan manusia-manusia berotak cerdas. Namun sangat sulit untuk mengatakan dengan pasti bahwa sekolah-sekolah ini akan mencetak manusia-manusia bermoral. Kenyataannya, korupsi di negeri ini semakin menggejala. Jelas ini dilakukan oleh mereka yang bersekolah. Bahkan mungkin sampai jenjang persekolahan paling tinggi.
Cerita pilu lain soal kegagalan sekolah adalah fenomena tawuran, narkoba, dan seks bebas yang dilakukan siswa-siswa sekolah yang kian hari kian meningkat jumlahnya. Sekolah sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk membentuk karakter dan watak murid untuk menjadi tidak seperti itu. Kalaupun ada murid yang terhindar lebih banyak disebabkan faktor lain di luar persekolahan dan proses pendidikan. Sekolah memang bukan satu-satunya yang berkontribusi, namun proses transmisi ilmu pengetahuan di sekolah tidak banyak memberikan kontribusi penting dalam pembentukan karakter baik para murid di sekolah. Bahkan, tidak jarang anak-anak justru semakin menjadi-jadi kenakalannya setelah mereka masuk dan bersekolah di sekolah-sekolah tetentu.
Sebetulnya, kalau kita bongkar sampai ke akarnya, sekolah-sekolah yang diselenggarakan di negeri ini sudah salah sejak akarnya, yaitu soal konsep dasar dan falsafah pendidikannya. Sekolah-sekolah di negeri ini, sekalipun telah memiliki aturan perundang-undangan yang merancang pendidikan sejak basis pemikiran dasarnya sampai masalah-masalah pelaksanaan teknisnya, yaitu UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan peraturan-peraturan turunannya, namun kelihatannya masih belum mencerminkan falsafah dan konsep pendidikan yang benar dan jelas. Walaupun dari sisi misi besar pendidikannya sudah bisa dibenar, namun turunan tenisknya justru tidak mencerminkan misi besar itu.
Dalam UU Sisdiknas Bab I Pasal I disebutkan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Bagian ini memperlihatkan tujuan dan sekaligus falsafah dari pendidikan yang harus diselenggarakan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Tidak ada yang bermasalah secara esensial kelihatannya.
Namun, praktik di lapangan tidak terlihat jelas perwujudan dari tujuan yang baik itu. Praktik-praktik pendidikan tidak memperlihatkan pendulum ke arah sana. Bukti yang paling kasat mata adalah kurikulum dan proses pembelajaran yang dipraktikkan di berbagai sekolah. Kalau memang pendidikan di negeri ini ingin mewujudkan pribadi yang “memiliki kekuatan spiritual, beragama, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, berakhlak mulai, cerdas, dan terampil”, apakah kurikulum pendidikan yang dirancang sudah memadai? Dari sisi struktur pelajaran saja sama sekali tidak menunjukkan itu. Pelajaran agama hanya diberi porsi sangat rendah. Bagaimana mungkin dengan pengajaran agama yang hanya 2 jam per minggu dapat mengajarkan agama dengan baik? Apalagi bercita-cita mewujudkan pribadi yang beragama dan berakhlak mulia.
Baru dilihat dari jumlah jam pelajaran saja disangsikan apakah kurikulum di sekolah-sekolah yang ada saat ini mampu mewadahi tujuan yang begitu luhur. Apalagi kalau kurikulum yang dijalankan dibedah sampai ke akar epistemologisnya. Akan segera semakin nyata ditemukan ketidakmungkinan kurikulum itu mengantarkan peserta didik sesuai dengan tujuan Sisdiknas di atas. Buktinya telah nyata di hadapan mata: secara moral kualitas keluaran pendidikan di negeri ini tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang diharapkan! Kalaupun cerdas cenderung merusak. Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi kesejatian dirinya sehigga lahir pribadi-pribadi yang terpecah (split personality).
Kalau ditelaah lebih mendalam, memang kurikulum yang dikembangkan sebagai penjabaran dari misi sistem pendidikan nasional memperlihatkan ketidaksesuaian dengan misi besar sehingga hasilnya pun jauh dari apa yang diinginkan. Memang ada muatan agama yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan seperti diamanatkan UU Sisdiknas pasal 37. Namun, kelihatannya keberadaan agama di sana tidak pernah memiliki kejelasan hubungan dengan pelajaran lain yang wajib dikembangkan seperti pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Ketidakjelasan ini semakin kelihatan ketika Peraturan Menteri mengenai Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Proses pendidikan diterbitkan. Di mana posisi pendidikan agama semakin terlihat jelas. Agama bukan diletakkan sebagai ruh dari semua mata pelajaran yang ada. Agama memiliki ruang tersendiri, sementara pelajaran lain berada di tempat yang lain lagi. Keterpisahan ini semakin menegaskan ada paradigma keliru yang melandasi struktur kurikulum dan proses penyelenggaraannya dalam sistem pendidikan nasional di negeri ini. Kekeliruan ini berakibat fatal, yaitu krisis dan kegagalan pendidikan seperti yang kita saksikan hari ini.
Mengenai pelajaran agama, baik Islam, Kristen, Katolik, ataupun agama lainnya, dalam Standar Isi di semua jenjang pendidikan, disebutkan kepentingannya sebagai berikut:
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menajdi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Perhatikan dengan saksama kalimat-kalimat yang tertera dalam kutipan di atas. Seperti inilah penguasa negeri ini mendudukkan agama. Agama direduksi hanya sekadar alat untuk mendidik “mental-spiritual”. Agama diposisikan hanya sebagai instrumen pengembangan potensi kepribadian yang sangat individual. Lebih dari itu, semua agama posisinya disamaratakan.
Dalam kasus agama lain boleh jadi benar bahwa agama hanya sekadar instrumen untuk membangun budi pekerti dan kualitas mental individual sejenisnya. Namun, bila dikaitkan dengan Islam, konsep ini tentu bermasalah. Islam tidak dapat didefinisikan hanya sekadar agama yang bertujuan membangun akhlak mulia dan budi pekerti semata. Islam memiliki dimensi sosial, politik, budaya, dan peradaban yang inheren dalam seluruh ajarannya. Mereduksi Islam hanya semata aspek spiritual adalah tindakan yang sangat gegabah dan “patut dicurigai” terkontamisasi pemikiran Barat-sekular.
Sebagaimana dimaklumi Islam adalah suatu sistem yang komprehensif yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Islam sangat memperhatikan aspek mentalitas dan kepribadian sebagai basis tindakan individual adalah benar. Namun pada saat yang sama Islam pun agama yang sangat menaruh perhatian besar pada masalah fisik manusia, sistem sosial, sistem hukum, kekuasaan, kebudayaan, bahkan kesenian sekalipun. Islam sama sekali bukan semata-mata masalah spiritualitas.
Kalau kenyataannya penjabaran sistem pendidikan nasional di negeri ini seperti jelas terbaca dalam Peraturan Menteri di atas yang akan menjadi acuan pembuatan kurikulum bagi seluruh sekolah di Indonesia, sudah tidak bisa ada interpretasi lain bahwa pengaruh pemikiran sekular sangat berpengaruh dalam sistem pendidikan Indonesia. Kekhasan pemikiran sekular terletak cara pandang terhadap agama. Agama diletakkan hanya sebagai urusan privat, dalam hal ini pembinaan mental-spiritual, bukan pada ranah publik.
Klaim ini dapat dibantah kalau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam mendefinisikan sekularisme. Menurut KBBI sekularisme adalah “paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.” Dengan kata lain sekularisme adalah paham keduniaan dan kebendaan yang menolak agama sama sekali. Dengan definisi ini, apa yang termaktub dalam UU Sisdiknas dan peraturan derivatnya sama sekali tidak menunjukkan paham sekular sama sekali.
Definisi yang sama kelihatannya dapat ditemukan juga dalam The Fontana Dictionary of The Modern Thought. Di sini secularism didefinisikan sebagai the rejection of religion after secularization (penolakan terhadap agama setelah proses sekulirasi). Agama memang ditolak, tapi penolakan ini terjadi setelah melalui proses sekularisasi. Sekularisasi sendiri didifinisikan sebagai the decline of religion (proses kejatuhan agama). Proses kejatuhan agama sendiri terjadi secara bertahap tidak secara langsung mengakibatkan penolakan agama secara mentah-mentah. Mula-mula kejatuhan peran agama ini dimuali dengan tidak berperannya tokoh-tokoh agama dalam kehidupan masyarakat. Mereka kehilangan kepercayaan dan simpati publik. Setelah itu, peran agama sendiri dikerdilkan sehingga sampai pada titik agama sama sekali ditolak, bahkan dianggap sebagai “opium” yang harus disingkirkan. Sampai pada titik ini sekularisme telah sampai pada titik ekstrim ketidakpercayaan sama sekali kepada agama (atheisme).
Sejalan dengan itu, bahkan diprediksi bahwa agama akan tetap ada sekalipun proses sekularisasi sudah berjalan sedemikian intensif. Namun, sebagai gantinya, masyarakat sekular cenderung beralih dari budaya beragama (religious culture) kepada sekadar kepercayaan agama (religious faith). Kalau sebelum agama seperti kata kerja (adverb), maka berikutnya agama hanya menjadi kata benda (noun). Kalau dulu orang melakukan sesuatu karena dan menurut petunjuk agama, maka sekarang orang melakukan apa yang mereka lakukan tanpa peduli pada agama dan bukan karena agama. Agama mengerucut jadi fideisme dan eupraxophy. Asalkan Anda percaya bahwa Tuhan itu ada, maka Anda sudah dianggap beragama. Cukup menjadi orang baik, tanpa perlu menjadi pemeluk agama tertentu.
Sebagian orang di Indonesia yang tahun 2003 lalu menolak mentah-mentah pelajaran agama masuk ke dalam UU Sisdiknas kelihatannya memang sudah benar-benar telah melakukan rejection of religion. Mereka telah “tersekularkan” secara ‘kâffah’. Namun bukan berarti yang belum menolak secara tegas kepada agama atau yang masih mengakomodasi agama tidak disebut sekuler. Kalau semangat akomodasi terhadap agama hanya sekadar “memberi ruang” dalam masyarakat yang semakin tidak menyenangi agama dan agama direduksi hanya pada hal-hal yang dapat diterima pikiran modern-sekular, jelas ini pun bagian dari sekularisme. Paling tidak, per definisi, sedang berproses menuju sekularisme paripurna.
Reduksi agama (baca: Islam) hanya sebatas pada masalah moral-spiritual adalah bukti proses sekularisasi tengah terjadi. Kelihatannya agama dimasukkan dalam kurikulum karena ada tuntutan politik dari kelompok-kelompok Islam. Pada saatnya, ketika proses sekularisasi sudah semakin massif dan merasuk sangat dalam ke dalam sendi masyarakat bukan mustahil pemisahan mutlak agama dari ranah kebijakan politik dan bahkan penolakan terhadap agama akan benar-benar terjadi di negeri ini. Dengan semakin menyempitnya peran agama seperti yang terjadi saat ini pun sesungguhnya sudah menunjukkan bahwa sekularisme sedang menancapkan kukunya di negeri ini. (Tiar Anwar Bachtiar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar