About

Kamis, 03 Februari 2011

KOSAN YANG SERAM

KOSAN yg SERAM

Bandung, januari 2007


Aku tengah telungkup di atas tempat tidur kosan Adi sambil membaca buku Filsafat, karena ada kegiatan esok harinya, aku menginap di kosannya. Karena aku setiap hari pulang pergi dari rumah ke kampus. Kalo dikira-kira jaraknya 30km, ya lumayan perjalanan 2 jam kalu naik angkot.

ketika mendadak kudengar suara gaduh dari kejauhan. Gubrak!
Drepp! Drepp! AAAH!
Kontan aku duduk dan bingung sendiri.
Bunyi apa itu? Kedengarannya seakan-akan beberapa orang mendobrak pintu,
berlari masuk, dan berteriak. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki
menaiki tangga. Penasaran aku mengintip keluar kamar. Tampak Adi dan Iwan,
terburu-buru berjalan menuju telepon. Mereka bicara
tidak beraturan. Yang bisa kutangkap hanyalah, "Bagaimana ini? Apa itu tadi?
Kita harus tanya! Harus!" Adi sudah mulai menekan nomor telepon ketika aku
menghampiri mereka dan berucap,"Ada apa? Apa yang perlu ditanya?"

Adi dan Iwan terlihat bingung. Mereka saling tuding beberapa saat sebelum
Iwan yang membuka mulut. "Kami mendengar suara, Ris," nadanya terdengar
setengah berbisik, "suara musik!"

Aku masih belum mengerti. "Oke. Ada suara musik. Itu sesuatu yang biasa
bukan?" Adi yang sedari tadi menggenggam gagang telepon meletakkannya dan
dengan setengah melotot mendesis, "Benar. Musik memang biasa. Tapi tidak
biasa kalau muncul dengan sendirinya." Iwan meneruskan setengah gemetar,
"dari kamar yang gelap, Ris. Dari kamar yang tidak dihuni."

Melihat cara mereka bercerita, aku jadi ingin tertawa. Aku serasa sedang
mendengarkan kisah horor satu babak. Tapi, kupikir ketika orang panik kita
harus bersikap serius. Maka aku melanjutkan pertanyaanku. "Baik. Jadi ada
suara musik dari kamar gelap yang tak berpenghuni. Kamar mana maksud kalian?
Memangnya ada kamar di sini yang seperti itu?" Iwan meremas-remas tangannya.
"Memang bukan di sini," ucapnya pelan. "Tapi di sebelah." Ia menunjuk ke
arah Kosan bawah. Matanya menyiratkan ketakutan.

Pfff. Aku menghembus nafas pendek.

Mau tidak mau aku merasa sedikit takut juga. Spontan aku mengecek keadaan
dari balkon. Tampak jendela kamar yang tertutup gorden. Dari dalam
cahaya lampu menyala. Dan gorden bergerak sedikit. Pelan namun pasti.
Mungkinkah itu halusinasi? Kupikir-pikir ada AC di dalamnya. Jadi udara yang
dihasilkannya mudah untuk menggoyang bahan satin itu. Tapi, apakah ada orang yang
menyalakannya? Bukankah kamar itu kosong, karena saya lihat tadi Dani sudah pulang ke Jakarta!. Dani adalah teman kami penghuni kosan juga, mengisi kamar yang dibawah, kebetulan bersebelahan dengan kamar yang kosong itu.


Terdiam sejenak, segera aku mengambil keputusan dan menoleh ke arah dua
temanku yang berdiri bersisian di belakangku. "Kita ke sana sekarang."
Adi membelalakkan mata. "Kembali ke sana?" Tampaknya dia enggan. Iwan pun
demikian. Keduanya saling pandang.

"Kita bertiga akan ke sana," tandasku mantap. Mereka hanya diam mematung.
Tak bergeming sambil memandangku seakan tidak percaya. Untuk menenangkan,
aku menambahkan,"Baiklah. Kita berempat akan ke sana. Aku ajak Novan sekalian
ya.".Novan adalah yang sama-sama menghuni Rumah kosan ini.

Belum lagi aku jalan, Adi memegang lenganku. "Apa tidak sebaiknya telepon
Dani?" ujarnya hati-hati, mungkin Dani gak jadi pulang ke Jakarta Sehingga dia lupa mematikan radionya!!
Wajah kami diliputi kecemasan. "Tidak perlu", ujarku. "Buat apa kita membuat panik
sendiri kita bisa menyelesaikannya sendiri, ya enggak?"
Maka berempat kami menuruni tangga. Di ruang lantai bawah, Didin dan
Pacarnya, tampak tengah asyik duduk.

Ada apa niiiih?, Didin bertanya kepada kami. Kemudian kami menjelaskan semuanya. Dan ternyata Didin juga mendengar suara yang kami dengar tadi. Memang katanya dikosan ini kalau tengah malam suka ada terdengar suara-suara yang aneh. Perkataaan Didin tadi membuat kami semakin takut saja.

Akhirnya kami semua menuju kosan Dani . Dinginnya udara
langsung menusuk kulit kala kami berdiri di depan pintu masuk. Untuk
beberapa saat kami berdiri tak bergeming. Hanya menatap pintu kayu berwarna putih.

"Siapa yang masuk duluan?" tanya Adi cemas. Aku menggigit ujung bibirku.
Berpikir. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Semuanya akan baik-baik saja, aku
meyakinkan diriku sendiri. Maka perlahan kuputar gagang pintu.

Temaram lampu dalam menyambutku. Aku melihat tangga naik. Tidak ada suara.
"Suaranya hilang," ujar Novan tiba-tiba di belakangku. "Iya," bisik Iwan
yang berdiri di sebelah Adi, "suaranya gak ada lagi yah." Terdorong
gerombolan di punggungku aku maju lebih jauh.

Baru aku memegang ujung pintu, aku mendengarnya. Musik. Mengalun nyaring
dari atas. Aku sudah tidak memperhatikan sekelilingku. Seperti terhipnotis
aku mengikuti arah suara. Aku mencari penampakan apapun. Tapi, tidak ada.
Rasa ingin tahu benar-benar menguasaiku.

ke arahnya sebelum menguak pintu. Gelap. Gelepar suara exhaust fan fals
mengiringi nada teratur suara musik. "Mungkin jin-jin kecil sedang bermain.
Atau hantu gentayangan," terdengar geletar suara Adi dan Iwan bergantian.
Di mana Didin? Aku tidak tahu persis.
Yang pasti Didin menyalakan lampu dan suara nyaring musik terus terdengar.
Aku mencari sumber suara. Dari arah mainan. Berdua Adi aku mulai mencari.
Mengubek di sana sini. Dan aha! Aku mengambil miniatur kompor masak berwarna merah jambu.
Mungkin Dani akan memberikannya kepada adiknya, untuk dibawa pulang nanti kalo mudik.

Tek!

Aku menggeser tombol on ke off. "Nah," kataku pada semua," dan misterinya
terpecahkan. Hanya sebuah mainan kecil." Semua menggangguk.
Ada kelegaan di sana. Kami pun tertawa. Namun wajah Adi kontan kembali
membeku.
"Iya. Hanya mainan. Mainan kecil," suaranya bertambah rendah, "tapi
bagaimana dia bisa hidup sendiri?"
Suasana hening kembali dan dingin.
Hm. Pertanyaan yang bagus. Tapi, aku tidak kehabisan jawaban yang logis.
"Mudah," kataku, "ada cicak atau tikus yang menyenggolnya. Kalian lihat
tombolnya kan. Gampang sekali bergeser."



Kutahu penjelasanku tidak memuaskan, tapi aku tidak ambil perduli. Apalagi
tidak ada pertanyaan lanjutan. Lampu dimatikan dan aku menutup pintu.
Memang dikosan ini bukan hanya sekali saja terjadi demikian.kami memang masih takut setelah satu minggu yang lalu pacarnya Novan mendengar suara perempuan ditelepon, padahal dikosan kami semua tidak ada perempuan sama sekali, itu terjadi tengah malam ketika kami semua sudah tidur. Semenjak kejadian itu kami semua jadi was-was, dan sering dihinggapi ketakutan.



Kembali ke tempat tidurku dan menekuri bukuku, selintas aku memikirkan apa
yang telah terjadi.






Bersambung…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar