About

Jumat, 04 Maret 2011

Belajar Kegagalan dari seorang Buya Hamka

Siapa yang tidak kenal dengan seorang yang namanya Buya Hamka, seorang ulama terkenal Indonesia yang sudah menulis berpuluh-puluh buku. Baik itu buku-buku tentang Agama, umum, maupun buku-buku sastra. Salah satu buku yang paling fenomenal dan terkenal adalah Tafsir al-Azhar yang dia tulis didalam penjara.

Saya tidak mengenal beliau secara langsung karena beliau hidup pada zaman yang berbeda dengan saya. Namun, saya dapat bercerita dari pengalaman-pengalaman hidupnya yang tertuang dari buku-bukunya dan pada pemikiran-pemikirannya yang sudah tersebar luas. Kebetulan sekali, penelitian skripsi saya tentang seorang Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Oleh karena itu, saya sangat mengagumi seorang sosok Buya Hamka, yang begitu banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan kehidupannya.

Diantara pelajaran yang saya dapat adalah ketika ia juga mengalami goncangan batin dan keputusasaan yang luar biasa ketika di penjara. Ia mengisahkan, hampir saja sebuah silet akan memisahkan ruh dari raga Hamka jika saja Allah tidak segera mengingatkan. Hamka mengaku terpukul, bagaimana bisa ia yang selama ini merasa berjuang kemudian dikatakan pengkhianat bangsa. Bagaimana bisa, seorang Hamka dituduh menjual hak-hak bangsa padahal ia merasa selama ini berjuang untuk rakyat banyak. Apalagi tuduhan itu dilayangkan seorang petugas yang umurnya setengah dari umur Hamka.

Hamka bercerita, ia menepis jauh-jauh perasaan yang sudah berjuang. Ia tidak mau menukar perjuangannya dengan kesombongan dan kebanggaan yang tiada berarti. Ia memompa kesadarannya, ia memotivasi dirinya bahwa Allah akan membantu siapa saja yang ada di pihakNya. Ia juga bercerita bahwa ia malu kepada bukunya Tasawuf Modern, buku yang ditulis Buya sebelum ia ditahan. Kata beliau, didalam buku itu ditulis bahwa segala kesusahan manusia bisa diangkat dengan jalan percaya dan mendekatkan diri kepada Allah. Lalu sekarang ia sendiri, Hamka, penulis buku Tasawuf Modern, duduk menangis, ketakutan dan berputus asa. Apa kata pembacanya nanti dan apa kata Allah ketika melihat dirinya begitu terpuruk, Hamka begitu lemah, Hamka begitu rapuh!.

Tidak! Seorang Hamka tidak boleh menjadi lemah, begitu batinnya. Seketika ia mendapatkan semangat baru yang berkobar-kobar untuk tetap hidup dan bertahan pada kebenaran yang dijunjungnya. Jika sebelumnya ia hampir saja menandatangani berkas pernyataan menyetujui dan mengakui segala yang dituduhkan kepadanya, sebagai penukar kebebasannya, kini ia menyatakan sanggup, bahkan merobek kertas itu. Lebih baik berkalang tanah dan mati mulia dari pada hidup hina. Ia tidak akan membiarkan para petugas memfitnahnya tertawa melihatnya mati bunuh diri untuk kemudian memberitakan ke media dan diumumkan keseluruh negeri bahwa Hamka mati bunuh diri karena malu telah mengkhianati bangsa dan Negara.

LUAR BIASA! Begitulah semangat seorang Hamka. Semangat yang sangat layak ditiru oleh kita yang hidup pada zaman ini. Bahwa keyakinan dalam diri kitalah yang menguatkan kita untuk mampu keluar dari sebuah keterpurukan hidup. Kegagalan dan kesusahan akan terus menghampiri kita, jikalau kita sendiri tidak bisa bangkit untuk memulainya. Memulai untuk hidup! Ya!.. Memulai hidup yang baru, dengan semangat yang baru pula.

Buka mata kita, buka hati kita, segera untuk menemukan karunia Allah. Masa karena satu-dua kesulitan, yang kebetulan memang sedang menemani kita, lantas membuat kita buta terhadap karunia Allah yang lain, yang masih jauh lebih banyak dan lebih besar dihadirkan untuk kita.


Jadi ternyata, di samping perlu keikhlasan, kepasrahan dan kesabaran kita juga perlu kebersyukuran dalam menjalani kesusahan dan permasalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar