Jumat, 04 Maret 2011
MENCANGKUL KEHIDUPAN
Segera diusapnya peluh yang sedari tadi bercucuran didahinya. Nafas cepatnya berubah menjadi lambat seolah-olah diatur oleh air minum yang masuk ketenggorokannya. Segera saja matanya terlihat sayu seakan-akan kantuk sudah didepan matanya. Dibukalah bajunya untuk mencari angin yang segar, maka dikibaskanlah baju itu dengan tangan kotornya. Maka terlihatlah tubuhnya yang sedikit gemuk itu. Matanya menerawang berkhayal kelangit, tak tahu apa yang menggelayut di dalam benaknya. Dia terus mengibas-ngibaskan bajunya yang sudah bercampur keringat itu. Matahari pun masih tetap setia dengan panasnya menyinari ladang sawah itu.
Segera saja orang itu berhenti dari istirahatnya, kemudian berdiri membawa cangkulnya. Panas yang menyengat sampai keubun-ubun, dirasa sudah cukup untuk mengakhiri pekerjaannya hari ini. Sambil di temani senandung adzan, jam pulang seorang petani. Maka pulanglah orang itu dengan membawa kelelahan yang sangat dalam dirinya.
Senyum isterinya menyambut kedatangan suaminya, segelas air putih ia siapkan untuk mengisi kerongkongan suaminya. Diminumlah segelas air putih itu sebagai pengganjal dahaganya. Anaknya keluar dari kamarnya, berharap bapaknya membawa makanan sisa omprengan (makanan pemberian dari yang punya sawah.red). Dibukalah plastik yang dibawa oleh bapaknya itu, ada baju, botol minuman, dan tempat makanan. Dalam hati anak itu ada kekecewaan karena tidak menemukan makanan sisa omprengan, namun hatinya dapat memahami kekecewaan itu. Ternyata hari ini yang punya sawah tidak datang sehingga tak ada omprengan yang dibawa, dan uang jerih payah mencangkul sawah pun tak dibayar. Maka orang itu pulang kerumah dengan tangan hampa. Padahal isterinya berharap dapat mengisi tempat berasnya untuk hari ini. Maka pergilah isterinya ke warung untuk membeli 2 bungkus mie dan satu liter beras, walaupun harus bermodalkan utang kepada yang punya warung. Sudah sering keluarga itu memimjam ke warung hanya untuk mengisi kekosongan perut. Wajar memang untuk seorang penghasilan petani yang tak pernah menentu.
Dalam batin orang itu tak menyangka bahwa roda kehidupan begitu cepat. Baru saja dia merasakan secuil hidup berada di atas, namun beberapa detik kemudian dia jatuh berada di bawah. Dalam pikirannya tidak pernah terbesit akan ada goncangan-goncangan, hambatan-hambatan, dan ujian-ujian yang bermacam-macam bentuknya. Waktu itu dirasa hidupnya setenang air di dalam kolam. Namun Allah berkata lain, Dia memberikan sebuah ujian dalam hidupnya. Agar Allah merasa dekat dengannya, agar Allah mencintai dan menyayanginya.
Orang itu pun tersenyum dalam hatinya, bersyukur dengan semua keadaan ini. Pasrah dan ridha menerima semua kehidupan ini dengan kelapangan. Hanya kesabaran yang selalu menemani perjalanan hidupnya sekarang. Dia yakin “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.(QS. Al-Insyirah:5-6).
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah:286).
“I LOVE YOU DAD”
~harrys~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar